Thursday, June 28, 2007

Danube tower

Tanggal 25-26 Juni ada rapat special ECB (Economic Commission Board) di Sekretariat, rapat kali ini difokuskan pada pembahasan aaspek lingkungan dan juga kajian kajian studi energi oleh sekretariat. Rapat dihadiri oleh semua delegasi negara anggota. Jadwal rapat cukup padat, setelah penutupan hari selasa sore, kita bersama delegasi RI dinner di danube tower (donauturm), restaurant ini ketinggiannya sekitar 170 meter dari ground, lumayan bisa melihat view kota wina menjelang malam.

Monday, June 18, 2007

Sesepuh OPEC

Minggu kedua Juni, Sesepuh OPEC Prof. Subroto mampir ke Wina, beliau yang cukup lama bertugas di Sekretariat OPEC sebagai Sekjen sempat berkunjung ke kantor bertemu Sekjen OPEC saat ini. Selanjutnya kami officers di sekretariat sempat bertemu beliau sekedar berdiskusi dan menggali ilmu dari tokoh senior ini.

Wednesday, April 25, 2007

Kerja di LN apa DN?

Ini rangkuman curhat dengan teman teman yang ada di LN dan DN, sekarang khan banyak temen2 eksodus ke LN, tapi banyak juga temen nggak tertarik alias tetap betah di DN. Emang hidup masalah pilihan sich..

Sebagian alasan teman teman yang lagi “nyangkul” di LN adalah untuk cari pengalaman dan of course-lah untuk penghasilan yang lebih baik.. (tapi ini diprotes sama teman saya yang lain, dia bilang “gua mau di gaji: euro, $, rupiah atau apa kek, nggak penting!, sing penting berapa saving-nya..”) - Bener juga sich ya… Gimanapun khan hidup di LN biaya hidupnya tinggi, kalau penghasilan nggak gede2 amat, ya bisa2 nggak ada saving.

Ada juga alasan pendidikan anak (katanya diluar lebih bagus), dalam beberapa hal banyak benarnya, tapi banyak hal yang saya nggak sreg juga, bagi saya hebatnya pendidikan sekolah anak nggak cuma pinter baca, tulis, komputer, matematika, bahasa asing, etc.. apa bedanya sama robot? Ada nggak ya sekolah yang juga mempertajam “kepekaan” anak, jadi nantinya dia punya empati, jiwa sosial, taat agama… wah enak bener ya. Karena kalau kita pikir2, setelah kerja, hal hal tersebut lebih penting…

Jadi inget dulu ada joke di ITB, persisnya saya lupa, kira2 gini: katanya alumni yang lulus dapet “A” dan “B” biasanya jadi dosen atau peneliti, dapet “C” jadi pegawai, dapet “D” jadi pengusaha yang “ngasih makan” yang dapet A, B, C tadi he he.. (ada yang protes, dapet D khan DO mas?, lha iya karena DO dia bikin usaha, nanti pas ente lulus, apply ke perusahaannya he he.., Maksudnya nggak semua nilainya “D”- lah.. …).

Ada juga yang punya pendapat kerja di LN untuk menaikkan “nilai jual” (emang barang…?), maksudnya gini, kalau kerja di LN khan incomenya dalam $ atau euro, jadi gaji terakhir bisa meningkatkan posisi tawar menawar pada saat cari kerja berikutnya.. well, make sense juga!.

Tapi temen saya yang lain, kekeh nggak mau kerja di LN, “ngapain capek2, apa apa harus dikerjain sendiri, disini gua punya pembantu tiga, ketemu makan enak dimana mana, tiap hari bisa pul kumpul ….”.

Begitulah, namanya juga pilihan, tiap orang bisa beda beda, kalau saya?, bolehlah beberapa tahun di LN, abis itu kayanya enakan pulang kampung, pul-kumpul he he..!

Friday, April 20, 2007

Waka BP Migas

Selamat atas pelantikannya Pak Muin, Semoga selalu diberi karunia kesehatan dan kemudahan oleh Allah SWT dalam menjalankan tugas. Amien...
--------------
Abdul Muin Dilantik Sebagai Waka BP Migas

Jumat, 20 April 2007
Dr Abdul Muin, dilantik oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro sebagai Wakil Kepala Badan Pelaksanaan Hulu Migas (BP Migas), Kamis (19/4) di Auditorium Departemen ESDM. Hadir pada acara tersebut para pejabat eselon I dan II dilingkungan Departemen ESDM, BP Migas, BPH Migas serta sejumlah pimpinan perusahaan KKKS.

‘’Dr Abdul Muin memiliki keahlian dan kapabilitas untuk menduduki jabatan sebagai Wakil Kepala BP Migas. Saya berharap ia akan ikut memberikan perannya bagi BP Migas yang kini memiliki tugas berat, terutama dalam upaya mewujudkan target peningkatan produksi migas,’’ ujar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro saat memberikan sambutan usai melantik Abdul Muin.

Selain itu diingatkan pula oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, BP Migas juga tengah disorot oleh publik menyangkut besaran cost recovery. Untuk itulah kepada Abdul Muin juga diminta untuk ikut berkerja keras bersama jajaran BP Migas menuntaskan persoalan ini. Diingatkan pula bahwa sub sektor migas memiliki peran penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia.

Posisi Wakil Kepala BP Migas kosong setelah Dr Triyana memasuki masa pensiun beberapa waktu lalu. Sedang Abdul Muin sebelumnya adalah Staf Ahli Kepala BP Migas. Menurut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, selain menguasai bidang perminyakan, Abdul Muin juga memiliki pengalaman birokrasi dan Internasional, sebab Abdul Muin pernah bertugas di OPEC.(*)
------------

Wednesday, April 11, 2007

Tanya FTP di IndoEnergy

From: jirak_sasak - Date: 10 April

Pak Benny Yth,
Saya baru belajar mengenai seluk beluk kontrak-kontrak pertambangan umum dan migas [termasuk PSC] yang berlaku di Indonesia. Jadi mohon dikoreksi jika keliru.

Mengenai FTP, beberapa kalangan menyebutnya quasi-royalti dan di Indonesia sendiri baru diterapkan pada tahun 1988 sebagai antisipasi turunnya harga minyak mentah di dunia [sebagai PSC generasi ketiga]. Besaran FTP ternyata tidak hanya 15%, ada yang 20% dan ada yang 10% dan tidak semuanya harus dibagi dengan kontraktor.

Dalam PSC antara BP Migas dengan PT EES [ditandatangai pada 12 Desember 2004], besaran FTP-nya 10% dari lifting dan tidak dibagi dengan kontraktor. Saya juga tidak paham mengapa begitu hanya sajawilayah kerja kontraktor itu ada di lepas pantai dan berada di wilayah marginal.Selain itu FTP merupakan kewajiban yang tidak bisa digugurkan, berbedahalnya dengan DMO.

Jadi nampaknya isi dalam kontrak berbeda-beda tergantung banyak faktor.
Terima kasih
Mumu Muhajir
--------------

Ini jawaban saya:

P. Mumu,
FTP memang hanya dikenal di PSC kita, ditempat lain, disebutnya royalty. FTP dibagi antara Kontraktor dan Pemerintah, jadi nggak heran kalau banyak yang menyebutnya quasi-royalty. Karena FTP 15% setara dengan royalty = 12.75%. FTP awalnya memang 20%, kemudian berubah menjadi 15%.

Katanya nanti untuk kontrak kontrak yang baru, FTP =10% (walaupun ternyata sebagian sudah berlaku juga FTP= 10% contohnya untuk kasus Anda). Tetapi FTP ini tidak dibagi antara Kontraktor dengan Pemerintah RI. Semuanya masuk ke Pemerintah RI.

Di kalangan pengamat model kontrak migas, hal ini agak membingungkan juga, karena FTP itu sudah trademark-nya PSC Indonesia, yang mana dibagi antara Pemerintah & Kontraktor, kalau FTP kemudian jadi 10% dan tidak dibagi, ini mah bukan quasi royalty lagi. Kenapa nggak pake istilah royalty aja seperti kebanyakan fiscal terms di belahan dunia ini, mungkin kita masih alergi dengan istilah royalty, mungkin juga kita masih seneng pake istilah FTP....

salam
Benny

Saturday, April 07, 2007

Diskusi DMO di IndoEnergy

From : Benny Lubiantara
Date: 4 April

Rekan milis Yth,
Saya mau urun rembug mengenai mekanisme perhitungan DMO dalam PSC kita, berikut point2 yang ingin saya sampaikan:
  1. Sebelum cost di recovered, ada FTP (First Tranch Petroleum) yang di share antara Pemerintah & Kontraktor (15% dari lifting), jadi Kontraktor sudah dapat FTP share dari awal2.
  2. Berdasarkan hirarkinya: perhitungan DMO dilakukan setelah FTP, cost recovery dan pembagian profit oil split.
  3. Besarnya DMO = 25% x contractor equity share x lifting, jadi BUKAN 25% x lifting.
  4. Karena hirarkinya demikian, menurut saya kurang tepat statement: “dengan DMO, NKRI dijamin mendapat25%
  5. Sederhananya: DMO itu = 25% * 15% * Lifting = 3.75% dari lifting, katakanlah crude Kontraktor karena DMO ini dihargai 15% dari ICP, maka: Net DMO yang masuk ke pemerintah “hanya” sekitar 3.2% dari lifting.
  6. Jadi menurut saya, DMO itu bukan momok yang menakutkan benar buat Kontraktor, apalagi DMO itu hanya berlaku (dalam kondisi normal) setelah 60 bulan produksi, dimana pada saat itu diperkirakan lapangan sudah masuk tahap declining. Kalau kita lihat dari Present Value sisa cadangannya, ya nggak signifikanlah itu.
  7. Namun demikian dari sisi time value of money, DMO holiday jadi penting karena diperkirakan peak production itu akan terjadi dalam 60 bulan pertama..kalau mundur peak nya, ROR Kontraktor (menurut saya) sedikit akan turun, namun demikian, mana adaKontraktor yang mau rugi sedikitpun khan ??, tentu sekarang pintar2 pemerintah bikin kalkulasi yang “reasonable”, supaya Kontraktor tidak malah memperoleh “excessive profit” dari usulan penundaan holiday ini dan pada saat yang sama Kontraktor juga tidak dirugikan hak2 nya..!
salam,
Benny
---------------

From: "Johan Dimalouw"
Date : 4 April

Rekan Sulis yth,

Terima kasih informasinya. Mungkin saja benar begitu, karena saya tidak mengikuti secara ditel PSC Cepu itu, di mana pembagiannya 85/15 (85% untuk NKRI dan 15% untuk kontraktor PSC CEPU (yaitu EXXON dan para Mitra Usahanya (terdiri dari EXXON = 6,75%, Pertamina = 6,75%, serta Pemda Bojonegoro dan Blora = 1,5%).

Prinsip yang terkandung dalam kontrak PSC secara umum yang saya ketahui (maaf, saya tidak tahu secara kusus kontrak PSC CEPU), adalah bahwa:

Dari 100% GP (Gross Prduction) itu pertama dipotong dulu 25% DMO untuk NKRI. Sisa GP (100-25)$ = 75% kemudian baru dipotong untuk CR = Cost Recovery (terdiri dari Operation Cost dan Depresiasi Capital Investments untuk explorasi dan exploitasi). Saya tidak tahu besarannya jadi kita misalkan saja dalam hitungan.

Kemudian sisanya yaitu GP-(DMO + CR) dibagi (dan setelah diperhitungkan pajak), jadinya 85/15 atau 85% untk NKRI dan 15% Kontraktor PSC CEPU, yaitu EXXON dan Para Mitra Usahanya.
Hitungan ulangnya sebagai berikut:Misalkan produksi PSC CEPU 100.000 BPD, Harga pasar $60/bbls, biaya Operasi = $ 7/bbls, Cost Rrecovery (untuk biaya Explorasi dan Capital investment sesuai hitungan depresiasi untuk tahun ybs) = $20/bbls dan rumus bagi hasil adalah 85/15 ( 85% untuk NKRI dan 15% untuk PSC CEPU).

Untuk kasus DMO ditangguhkan maka minyak yang diproduksi setiap hari itu bernilai $6.000.000, diambil untuk Cost Recovery ($7/bbls + $ 20/bbls) x 100.000 = $ 2.700.000 per hari untuk PSC CEPU. Sisa minyak bernilai $ 3.300.000 itu dibagi sesuai rumusan PSC, maka PSC CEPU mendapat bagi hasil sebesar $495.000 per hari. Total untuk PSC CEPU = $ 3.195.000 per hari dan untuk NKRI $ 2.805.000 per hari.

Untuk kasus DMO berlaku seperti biasa, maka nilai minyak yang diproduksi setiap hari itu dipotong 25% DMO berniali 25.000 x $ 60/bbls = $1.500.000 per hari untuk NKRI. Sisanya sebesar 75% bernilai = 75.000 x $ 60/bbls = $ 4.500.000 per hari, dipotong Cost Recovery untuk PSC CEPU (dianggap tetap sama) = $ 2,700.000 per hari. Nilai sisa minyak yang akan dibagi sebagai keuntungan usaha adalah $ 4.500.000 - 2.700.000 = $ 1.800.000. PSC CEPU mendapat 15% = $270.000 per hari dan NKRI dapat bagian 85% = $ 1.530.000 per hari. Jadi total untuk PSC CEPU adalah $ 2.970.000 per hari dan total untuk NKRI adalah 3.030.000 per hari.

Kesimpulannya adalah bahwa:
DMO adalah komponen kontrak PSC yang menguntungkan NKRI dan menjamin hasil untuk NKRI karena diambil 25% terlebih dahulu untuk kepentingan Nasional. Bisa saja terjadi ditahap awal produksi komponen CR(Cost Recovery) sangat besar disebabkan oleh hasil hitungan Deprisiasi Investasi sehingga Kontraktor yang dapat bagian besar, tapi dengan DMO, NKRI tetap minimal dapat 25% khan. Besarnya investasi, bagian Cost recovery dan bagi hasil untuk EXXON itu terpulang kepada perjanjian kerjasama EXXON dan Mitra Usahanya

Begitulah kira-kira fungsi DMO dalam konsep PSC, sehingga sangat disayangkan bila Pengurus (Pemerintah dan DPR) NKRI menyetujui usulan penundaan DMO oelh Kontraktor PSC CEPU (EXXON dkk).

Terima kasih
JD

------------------

From: x.sulityono@exxonmobil.com
Date: 4 Apr 2007

Mungkin banyak yang nggak tahu bahwa banyak koran menulis bahwa bagian nyaitu hanya 6.75%. Pertamina 6.75%, Pemda Bojonegoro dan Blora total dapat1.5%, Pemerintah 85%. Tolong dihitung, enuak banget apa nggak ?

-----------------

From: "Johand Dimalouw"
Date:3 Apr 2007

Pak Benny yth,

Wah bebas DMO bagi kontraktor sangat penting untuk cashflow mereka. Khan jadinya mereka dapat untung duluan dan komen saya terkait hal ini sbb.:
Judul "EXXON MINTA PENANGGUHAN PENERAPAN DMO HOLIDAY" agak keliru, seharusnya "EXXON MINTA PENANGGUHAN PENERAPAN DMO" atau "EXXON MINTA PENERAPAN DMO HOLIDAY"

Yang disebut sebagai DMO dalam PSC atau KPS (atau KKKS?) yang saya tahu, adalah kewajiban kontraktor menyerahkan 25% dari "total gross production per day" untuk pemenuhan kebutuhan bahan bakar domestik. DMO adalah singkatan dari "Domestic Market Obligation." Minyak bagian DMO ini tidak "dijual" tetapi "diserahkan" kepada Pemerintah dan hanya diganti biaya exploitasi (Operation Cost)-nya saja (tidak termasuk biaya explorasi dan Capital investmentnya.

Jadi kalau DMO ditangguhkan atas persetujuan Pemerintah, maka untuk kebutuhan minyak dalam negeri Pemerintah harus membeli dari EXXON dengan harga pasar. Jadi Pemerintah rugi sebesar selisih harga pasar dan biaya operasi/produksi.

Untuk ilustrasi hitungan cepatnya (bukan hitung yg sebenarnya) sbb.:
Misalkan produksi EXXON 100,000 BPD, Harga pasar $60/bbls, biaya operasi = $ 7/bbls, biaya Explorasi dan Capital investment sesuai hitungan depresiasi untuk tahun ybs = $20/bbls dan rumus bagi hasil adalah 80/20 ( 80% untuk NKRI dan 20% untuk EXXON).

Untuk kasus DMO ditangguhkan maka minyak yang diproduksi setiap hari itu bernilai $6.000.000, diambil untuk Cost Recovery ($7/bbls + $ 20/bbls) x 100.000 = $ 2.700.000 per hari untuk EXXON. Sisa minyak bernilai $ 3.300.000 itu dibagi sesuai rumusan PSC, maka EXXON mendapat bagi hasil sebesar $660.000 per hari. Total untuk EXXON = $ 3.360.000 per hari dan untuk NKRI $ 2.640.000 per hari.

Untuk kasus DMO berlaku seperti biasa, maka nilai minyak yang diproduksi setiap hari itu hanya sebesar 75% x 100.000 bbls =75.000 bbls = 75.000 x $ 60 = $ 4.500.000 per hari. Cost Recovery untuk EXXON (tetap sama) = $ 2,700.000 per hari. Nilai sisa minyak yang akan dibagi adalah $ 4.500.000 - 2.700.000 = $ 1.800.000. EXXON mendapat 20% = $360.000 per hari. Jadi total untuk EXXON = $ 3.060.000.

Jadi dengan menunda DMO seperti diusulkan/diminta EXXON, maka Hitungan Keuntungan Minyak membesar dan dengan sendirinya bagian untuk EXXON membesar walaupun ratio pembagiannya tetap 80/20.

Perhitungan di atas hanya untuk ilustrasi, mengapa EXXON minta DMO ditunda. Angka-angka yang saya pakai hanyalah permisalan belaka.
Terima kasih
JD

Saturday, March 10, 2007

Koleksi SPE papers

Zaman masih di Unocal dulu, karena ada akses ke paper SPE, saya manfaatin untuk ngumpulin paper SPE yang berhubungan dengan petroleum economcs, kaya: fiscal regimes, real option, project economics, risk analysis, reserves valuation, FMV, capital budgeting, etc..

Setelah hampir setahun, terkumpul hampir 400 papers (mulai SPE paper tahun 1975 sampai mid 2004), setelah itu berhenti koleksi karena nggak punya akses lagi, maklumlah awak sudah resign waktu itu dari Unocal (sebelum Unocal almarhum karena dibeli Chevron).

Buat apa? ya buat baca baca aja... selain itu buat nambahin materi kursus petroleum economics.

Untungnya semuanya itu dalam bentuk softfile, jadi cukup masuk USB, kalau hardcopy, kebayang 400 papers, berapa halaman itu totalnya... padahal kalau beli paper langsung online di SPE (
disini nih), mahalnya minta ampun, satu paper kalau member SPE sich cuma US$ 6, tapi kalau bukan member kena US$ 20, wah mahal juga ya!, berarti kalau saya punya paper 400, nilainya bisa: US$ 8,000, wah duit gede itu.

Sempat saya save ke CD, pas saya berangkat kesini kemaren sebagian CD nya saya hibahkan ke teman sekantor yang punya minat mendalami petroleum economics, saya keep satu CD aja, buat personal files.

Saturday, February 10, 2007

Kursus di Wina

Setiap tahun di OPEC diadakan kursus 5 hari judulnya: Multi Disciplinary Training Course, kursus ini bagus karena sangat komprehensif, materinya mulai aspek teknis & ekonomis, seperti: downstream, upstream, environment, fiscal, projetc economics, oil market, statistic, energy model, energy alternatives, etc..

Pesertanya dari negara anggota, tidak dipungut bayaran, maksudnya kursusnya gratis, tapi tiket dan akomodasi tidak ditanggung, supaya efektif, tentu juga ada pembatasan jumlah peserta dari setiap negara..

Saya jadi inget, dulu pingin banget ikut ikut kursus kaya gini, di vienna lagi.. tapi ternyata nggak pernah kesampaian. Untuk tahun 2006, kursus diadakan bulan November kemaren, saya kebagian jadi instruktur untuk topik: fiscal policy & upstream investment.. ya nggak kebayang, dulu pingin jadi peserta, nggak pernah kesampaian, sekarang malah disuruh jadi instruktur.. that's life.. you never know..